Cerpen - Rampal



Rampal

Oleh : Farihatun Nafiah 
(Dimuat dalam Harian Cakrawala Makassar)



 

          Benarkah Gusti hanya mengutus mereka—makhluk cahaya—untuk membagi bungkusan rezeki sekaligus mengawasi kami. Bagaimana bila, rezeki itu berganti menjadi balak api ketika telah berada pada tangan kawanan mata merah. Segerombol makhluk yang mengumpat dendam pada siapa saja yang tidak mengingat tentang satu hal. Ah, jika benar begitu pasti Kang amengku jagad memiliki alasan tersendiri pada setiap rupa-rupa yang dibentuknya. Lagipula tidak ada yang dapat menduga-duga sekalipun, kapan datang dan perginya rezeki. Mengenai hukum rezeki tersebut, berlaku pula pada hukum balak. Bukankah seonggok akibat memang berasal dari dubur suatu sebab.
***
Pertarungan sengit dimenangkan Abimanyu. Aji-aji wahyu cakraningrat dan  keris pulanggeni yang ia miliki mampu mengalahkan jenis Buto terkuat kapan dan dimana pun.1) Tiba-tiba gunungan telah tertancap tegak lurus pada tengah kelir. Pagelaran usai. Semua terlipat rapi seiring dengan alunan gending2). Api yang menempel pada ubun-ubun obor dimatikan. Pertigaan galengan3) lebar Gading segera ditinggalkan puluhan pasang telapak tak beralas. Semua segera kembali lengang. Malam semakin lengket. Mendungnya bergumpal saling memintal. Sesekali kilat kian bernafsu untuk membuka tabir langit. Sementara malam-malam selanjutnya kian lengang. Pias.
“Kepalamu terdengar berdegum-degum. Seperti ada hal yang kau simpan, Jo.” Telinga Mak Yut mendengar bunyi menggebu dari kepala cucunya. Dua, tiga, empat hari. Mata tuanya kian berkaca-kaca kendati melihat raut pemuda itu penuh akar merekah yang bergelantungan pada senyumannya. Senyuman yang lebih mirip api. Hangat. Dan sedikit menyeringai. Ya, Cak Jo akhirnya mendapat seragam kuning. Barangkali sebuah kebahagiaan tiada tara.  
Bukan kali pertama bahwa bunyi dipercaya lebih lambat dari silau. Bila suatu bunyi melompati mulut ke mulut, nyatanya mampu menyebar lebih cepat dari kilat. Bagi Yu Pat yang berprofesi sebagai pemilik warung rujak sejak 1981—memang begitu tulisan di warungnya—pekerjaan Cak Jo ialah pekerjaan rendahan yang sama sekali tak patut disambut dengan suka cita; terlalu berlebihan. Guk Urip, Wak Giran dan Yu Ti—para pelanggan setia warung rujak itu—juga membenarkan dalih tersebut. Para kaum peronda juga kerap mentertawakan seragam kuning yang dimiliki salah satu anggotanya baru-baru ini. Selebihnya, kaum penjual rokok, penimba air sumur, pedagang ayam keliling, penjual sayur-mayur rumahan, hingga pengrajin klompen memberikan ucapan selamat, mungkin. Sebab ketika sampai pada telinga  Cak Jo dan Mak Yut ucapan-ucapan itu rasanya panas dan meninggalkan nyeri tak terkira. Bukankah memang lebih mudah memincingkan mata ketika mata yang lainnya berbinar bahagia. Pemuda—mantan pengangguran akut—seperti Cak Jo, menurut para tetangganya lebih pantas bertapa di bawah gubuknya daripada akhirnya menyusahkan orang lain.
Kepalanya berdegum-degum sepanjang hari. Sepanjang bulan. Sepanjang musim. Pagi buta, telah menjadi kebiasaan Cak Jo menapaki embun. Sementara lirih komat-kamit ingsun4) berkopyah masih terdengar pada sebuah bangunan redup di ujung batas kampung Parimono. Sejenak ia berhenti, mengamati kepala-kepala yang bergeleng sembari menunduk. Ia semakins tak mengerti. Lalu kembali melangkah lagi. Diiringi kokok ayam yang perutnya kosong. Serta sisa-sisa angin yang bersembunyi diantara rumpunan bambu. Seragam kebanggaannya mengalahkan warna matahari terbit. Dan telah sampai pada jalan raya. Para pemilik seragam kuning mulai berdatangan. Lalu menyebar. Sisi kiri. Juga sisi kanan. Menelusuri sela-sela kota. Sapuan mereka membentuk irama pada jalanan yang masih lengang. Sesekali truk yang masih terkantuk-kantuk melintas. Dan Cak Jo tersenyum merekah, dengan topi yang tampak memiliki banyak bekas jahitan. Beserta bekal rebusan air sumur yang menggantung di pundaknya.  
Empat tahun sudah profesi menyenangkan itu dijalaninya dengan penuh ketekunan, pengabdian, juga peluh. Padahal sebenarnya, ada sesuatu yang dicarinya selain mengumpulkan dedaun jatuh. Belum sampai itu. Pada suatu pagi yang berkilau kuning keemasan, kota kami meraih penghargaan bergengsi; adipura kencana. Petinggi kampung—pak Lurah, pak RT, pak RW—tak luput para tokoh bersarung beserta warga yang menggendong seperangkat anak mereka, semua bersorak ramai-ramai menuju jalan raya sembari berjingkrak menyambut Cak Jopening—Cak Jo Pelopor Elegan Kuning—sosok yang menjadi kebanggaan kampung kami. Meskipun pada dasarnya sama saja; Jopening tetaplah Jo. Ah, Mak Yut tetaplah yang paling tahu.
Menjelang malam sura. Para ingsun berkopyah beserta para nini5) berbalut putih-putih selalu tiba lebih dahulu sebelum bedhug lapuk itu ditabuh. Hentak kaki mereka sampai terekam pada pendengaran Mak Yut. Perempuan renta itu. Matanya menempel pada celah gubuk. Melihat jalan kecil berlumpur-lumpur depan halamannya. Menelisik tiap hentak pasang kaki yang melintasinya. Tetap tidak ada. Tidak ada satupun sepasang kaki yang berbelok. Apakah Jo lupa arah jalan menuju gubuk, batinnya. Rona merah di barat akan berganti pekat. Merambat. Sedang kepulan bubur tak lagi hangat.
Pada titik tengah kampung kami, segala panjatan telah disiapkan. Pertigaan galengan lebar Gading kembali disinggahi. Namun kali ini, Kanjeng sepuh6) tak hadir. Pula tak semua warga kampung mendatangi. Hanya  kaum Ki. Mereka telah melingkar. Menyalakan asap-asap wangi. Mantra-mantra mulai berkepulan. Ritual pembasuhan benda-benda antik berlangsung.
Hingga sampai tengah malam. Mak Yut masih terjaga. Ada yang berkepulan dalam dadanya. Lain dupa, lain deguman. Asap yang menyimpan rasa cemas berkepanjangan. Disana, Cak Jo dirundung ketakutan. Kami mendapat kisah, yang berasal dari mulut tak dikenal, mungkin memang tak ingin dikenal, bahwa ketakutan yang selama ini terpendam akan muncul sewaktu-waktu. Lantas, tertatih-tatih Cak Jo menapaki pinggiran rel berkarat. Menuju arah selatan. Telapaknya dirajam bebatuan runcing. Seragam kuningnya kumal. Warnanya seperti matahari gagal terbenam. Sementara kain bagian lengan kanannya tampak bekas terbakar. Ia takut. Benar-benar takut. Tak pasti apa yang ditakuti. Barangkali hanya makhluk cahaya yang hanya mampu menguraikan peristiwa-peristiwa Cak Jo seutuhnya. Sementara kodrat wabah mulut ke mulut memang cepat menyebar. Meskipun benar atau tidak. Keyakinan tetaplah menjadi sebuah keyakinan. Kami hanya mendengar sepenggal demi sepenggal. Konon begini.
Setelah dedaun kuning bergulingan pada sepanjang jalan itu telah masuk ke dalam keranjang bambu beroda. Sementara tak sedikit manusia yang mencari bahan bubur untuk menyambut malam sura. Pasar pasti begitu ramai, biar disapu yang lain saja, pikirnya. Pada dasarnya ia tak menyukai ramai. Sepi adalah kawan baiknya. Terlepas itu, sebagai anggota pasukan kuning yang telah banyak pengalaman—dan telah menjadi sosok kebanggaan. Ia memilih membersihkan jalan lain. Yang lebih sepi. Meski ia tahu, tiada yang memerintahnya. Namun, ia merasa sangat bersalah apabila menemui jalan yang masih bertebaran sampah—entah dedaun, plastik, kaleng bekas, dan sesuatu tak sedap lainnya. Ia memilih jalan yang pinggirannya dibatasi pagar stasiun. Memang sepi. Sangat kontras dengan jalanan pasar. Sampai disini tak ada yang salah, toh niat Cak Jo baik; menyapu. Ketika sapuannya mengenai kaleng bekas, sementara suaranya menyayat telinga makhluk apa saja. Lantas tugas angin hanya sejenak melewati sela-sela pandangannya. Terubahlah pagi itu menjadi kelam. Temaram. Kepalanya berdegum-degum kembali. Melihat sesuatu yang mengingatkannya pada saat kecil. Yang  membuatnya takut. Dan sangat takut. Cak Jo tersungkur. Matanya terpejam rapat-rapat. Urat lehernya memekik parau.  Tangannya menutupi telinga yang bergeming-geming. Syair-syair merambat dalam desiran ingatannya. Mengalun dan seakan segera menikam jantungnya. Bayangannya hitam-putih.

Siji… Loro… Telu…
Buto-buto galak, solahmu lunjak-lunjak
Ngadek lincak-lincak, nyandak kunca nuli tanjak
Bali tangi maneh rupamu ting celoneh
Iki buron apa tak sengguh buron kang aneh
La wong kuwe we we sing marah-marahi (hiyo-hiyo)
La wong kuwe we we sing marah-marahi (hiyo-hiyo)
La wong kuwe we we sing marah-marahi (hiyo-hiyo)
Buwak kucing gering.7)

Cak Jo menjerit. Ia mengingat beberapa hal yang masih kentara dalam benaknya. Semak-semak. Batu-batu. Mata tertutup. Suara bedhug. Hentak kaki yang menghilang. Terik siang menjadi malam. Pekat. Gelap. Sosok berbau gempal. Mukanya tak jelas. Baunya anyir sekaligus busuk. Suara berdengus. Nyanyian bocah-bocah lenyap. Suara bedhug lagi. Tidak! Kepalanya semakin berdegum. Matanya merah. Tangannya mencengkeram sapu. Lalu membakar apa saja di sekitarnya. Sejenak menyeringai. Sejenak menangis. Sejenak ia takut. Sebab lelaki berbadan gempal bersama bocah laki-laki yang ada di dekat bebatuan rel kereta mengembalikan ingatan terburuknya. Bocah lelaki itu menangis. Barangkali sebab celananya hilang. Lelaki gempal itu sudah tidak ada. Sementara bocah itu terlihat kesakitan. Entah bagian mana. Kesakitan yang turut dirasakan Cak Jo. Hingga lengannya terbakar pun. Ia tak peduli.
Ia tetap melangkah. Kepalanya kembali berdegum-degum. Buto ternyata masih belum mati, pikirnya dengan terseok. Masih menutupi telinganya. Ia lupa arah jalan menuju gubuknya. Memang tidak tahu, lebih tepatnya. Malam segera beralih. Menjadi pagi yang mungkin tetap kelam. Selatan adalah arah kakinya melangkah.
Dedaun telah memiliki waktu kapan ia akan segera gugur. Dan berganti dengan hijau lagi. Gugur lagi. Hijau lagi. Seperti itulah hakikat hari. “Percuma, Mak. Cak Jopening sudah hilang. Dimakan Buto!”, tetangga sebelah setengah teriak. Tetangga sebelah gubuk Mak Yut memang telah mengetahui bahwa Cak Jo takut sekali dengan satu sosok astral itu—Butosejak usianya belasan tahun. Namun mereka seperti kami, sama-sama tidak tahu, siapa Buto yang ditakuti Cak Jo sebenarnya.
 Mak Yut kian renta. Hidupnya seakan gugur dan tak pernah tumbuh hijau kembali. Matanya kian redup. Halaman gubuknya bernasib sama dengan uban yang semakin semrawut di atas kepalanya. Tak terurus semenjak ia berharap cucunya kembali. Waktunya dihabiskan dengan menanti kedatangan cucunya di ambang pintu. Sedari fajar hingga terbenamnya matahari. Membuka pintu, menutupnya lagi. Selalu begitu. Mulutnya yang kisut turut bergetar. Adakah Jo melupakannya. Atau ia sengaja diculik kawan kerjanya yang mengumpat dengki. Atau memang benar, Buto telah menikam cucunya dari belakang. Tidak!, Mak Yut menerka dirinya sendiri.
***
Kami mendengar seakan petir menyambar telinga kami. Berita itu seakan  datang dari antah-berantah. Namun, itulah kenyataannya. Surup8) tiba dengan mendung yang legam, kampung Parimono digegerkan dengan penemuan bau busuk di area selatan rel kereta api. Area pemakaman umum. Lantas warga kampung kami berbondong-bondong. Seperti diserbu ribuan sayap Ababil9) yang memaksa kaki untuk berlari cepat. Mak Yut pun turut berlari bersama kami. Kerumunan pun akhirnya ditemui. Memang, bau busuk sangat menyengat.  Namun mengapa mereka tetap berkerumun dengan terpengangah. Air muka Mak Yut semakin kisut, mulut-mulut mengelilinginya. Seakan menghakiminya. Lidah-lidah membongkar sebuah cerita. Kami tidak mengerti, itu benar atau tidak. Namun sekali lagi, kami mau saja meyakininya. Kami mendapatkan penggalan kisah lainnya. Konon beberapa hari yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kepalanya berdegum-degum dari utara menuju selatan rel. Pemuda itu membawa sapu. Celingukan seperti mencari sesuatu. Tangannya menutupi telinga. Orang mengira bahwa ia akan bunuh diri. Namun, tidak ada kereta yang melintas. Barangkali kereta api masih pulas tertidur bersama dengan tidurnya matahari di ufuk barat. Lalu pemuda itu dengan gontai dan sedikit terseok menuju sebuah pohon beringin. Awalnya ia hanya menyapu dedaun kuning di bawah pohon yang berjenggot sangar itu. tidak sekedar menyapu. Sepertinya, ia ingin segera menemukan sesuatu, sebab itu ia terus menyapu.  Ia tak peduli pada suara bedhug yang remang-remang dari kejauhan. Ia sibuk mencari sesuatu—barangkali ia ingin menemukan celana bocah kecil yang ketakutan tadi pagi—sementara hasil sapuannya semakin menjulang. Tiada ditemukan benda yang dicarinya.  Pemuda itu kesal, lalu membakar tumpukan daun-daun kuning kecokelatan itu. Seperti membakar masa lalunya. Tiba-tiba kawanan mata merah dari ujung pohon itu turun. Awalnya hanya menggelantung dengan giginya yang menyeringai. Sungguh, pemuda itu mengira bahwa mereka-lah yang menyembunyikan sesuatu yang dicarinya. Ia tak sadar bahwa keberadaannya—yang tanpa permisi, semena-mena, dan tak mengenal siapa yang mesti diingatnya—sangat mengganggu kawanan yang siap mencengkeram itu. Sementara api kian berkobar. Pemuda malah mengancam pada segerombol mata merah itu, jika sesuatu yang dicarinya tidak segera diberikan maka pohon itu akan ia hanguskan. Mata merah menyala-nyala. Nyanyian permainan masa kecil sang pemuda kembali bergeming. Tabuhan bedhug tak terhiraukan. Ia tak mengingat siapapun. Lalu lehernya tiba-tiba berada pada cengkeraman taring-taring ganas. Badannya melambung. Tubuhnya koyak seketika tiba di atas tanah. Tergelepar pada area pemakaman umum kampung kami. Dengan kondisi mulai kepala, perut, hingga kaki tak karuan. Beserta bau busuk sebab telah berhari-hari tiada yang mengetahui.
Tulang beluang Mak Yut layu seketika. Pemuda dalam kerumunan kisah itu adalah Cak Jo. Jangan-jangan ada keyakinan yang belum diperkenalkan pada cucunya. Pemuda itu tidak lupa kemana arah jalan untuk kembali. Melainkan ia sama sekali tak mengerti, kepada siapa harusnya ia mengingat. Barangkali terdapat hal yang belum terbongkar seutuhnya mengenai masa lalu Cak Jo. Atau itukah alasan Gusti mengapa gerombolan rampal10) harus kami akui benar adanya. (?)
Jombang, 27-29 Januari 2015
Catatan;
1)Terinspirasi dari kisah pagelaran wayang yang diadakan satu tahun sekali
2)Gending; suara gamelan
3)Galengan; batas atau jalan atau petak pada sawah
4)Ingsun; istilah lain manusia
5)Nini; istilah lain wanita renta
6)Kanjeng sepuh; pejabat atau petinggi yang sangat dihormati
7)Sebuah syair dengan judul ‘Buto Galak’ untuk permainan obak anak-anak kecil di daerah Jombang. Dimainkan dengan mata tertutup dan bersembunyi (Terdapat dalam buku Sejarah dan Budaya Jombang oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang)
8)Surup; waktu senja
9)Ababil; nama burung dalam suatu kitab suci
10)Rampal; makhluk bermata merah, jelmaan anjing yang mengganggu manusia lupa sembahyang, dedemit pohon beringin mitos daerah Jombang

0 komentar:

Posting Komentar