Ratu Sheba dan
Sholomon
Oleh
: Farihatun Nafiah
(Cerpen ini Pernah diikutkan dalam Ajang
Pemilihan Cerpil UNSA 2015)
Pemilihan Cerpil UNSA 2015)
Syahdan, bukan sekali waktu angin
mendadak pelan ketika sepasang kakinya melintasi jalan negeri Ham dengan setengah
melayang—tak menyentuh tanah. Diantara pepohon rindang berdaun nila,
dipandanglah segala arah yang ia mau. Warna langit di belakangnya memang
kehijauan. Di samping-sampingnya, segala rupa binatang berseru di balik kayu
pepohon maupun dedaun semak. Ada yang mengaum, ada yang mengeong, meringkik,
mengendus, mendesis, mengembek, mengerang. Banyak. Ia terhenti sebentar,
mendengar semua suara binatang itu, lalu membalasnya satu per satu, seakan
mengatakan suatu kesejahteraan. Rupanya ia mengerti apa yang sedang dibicarakan
antara makhluk-makhluk itu. Seekor hud-hud berkelebaran di atas pundaknya, sembari
membisikkan bahwa akan ada sesuatu yang akan menimpa tuannya.
***
“Kali pertama ia terbangun, ia
merasakan bahwa pertemuan dalam mimpi itu terbawa hingga matanya terbuka
kembali. Ia mencoba mengingat, namun sekelebat sinar merah diantara salah satu
jemarinya mengalihkan perhatiannya. Sepertinya ia dijaga oleh sinar merah yang
memiliki banyak ekor itu”, Kata Jhalalin.
Tentu
saja berita ini jauh sebelum terdengar kabar tentang segerombolan makhluk
berjubah wol yang bangkit dari nyenyak ratusan tahun di sebuah gua.
“Sinar merah yang berekor-ekor?”, Seorang
wanita—dengan rambut bergelombang ungu menyala yang dipenuhi mawar merah segar
diatas kepalanya—terbelalak.
“Hamba pun ingin tahu, siapa makhluk
yang kakinya tak menyentuh tanah itu sebenarnya, Ratu”.
“Ajak dia kemari, secepatnya!”,
semula warna mata wanita itu cokelat muda, namun seketika menjadi magenta. Itu
pertanda bahwa perintahnya harus segera dijalankan. Kalau tidak, mata itu akan mengeluarkan
api merah pekat dengan juluran-juluran jingga di sekitarnya, konon api itu
dapat membakar tubuh siapa saja yang tak patuh terhadapnya.
“Baik, Ratu”, Jhalalin menunduk
sembari mengepalkan tangan kanannya yang bersisik putih—di dada atas sebelah
kiri. Ia segera menjalankan tugas, sebenarnya ia ingin bertanya undangan dalam
rangka apa, bukankah berjalan dengan melayang ialah hal yang biasa saja,
bukankah sinar merah (meskipun berekor-ekor dan semacamnya) tak lebih ajaib
dari kemilau singgasana ratu, namun ia tak mau pikir panjang agar tidak kena
murka.
“Cukup katakan saja bahwa aku ingin
bertemu dengannya di sini”, sepertinya Ratu mendengar suara dalam diri
Jhalalin.
Jauh-jauh
hari, Jhalalin telah diutus Sang Ratu untuk memberikan undangan pertemuan
(antara ratu dan makhluk berkaki melayang) melalui mimpi. Tapi, Jhalalin selalu
gagal. Ia merasa dihalang oleh semburat sinar merah yang berekor banyak. Kali
ini, pesuruh itu akan memberikan undangan pertemuan tidak melalui mimpi, tapi
secara langsung, meskipun ia tahu hud-hud peramal selalu siaga dengan apa-apa
yang akan terjadi pada tuannya.
“Jangan
lupa pakailah minyak wangi biji Kasethra”, bola mata itu berwarna magenta lebih
pekat.
“Baik,
Ratu”, Jhalalin hampir lupa. Minyak Kasethra harus dipakainya setiap keluar
dari kerajaan, agar baunya mampu menyamarkan firasat-firasat para peramal. Sebab
dengan minyak itu, para peramal menduga bahwa musim angin segera berganti dengan
musim mekar bunga Abyss, bunga kedamaian dengan warna kisthi— warna perak—yang
melindungi putik-putik kristal putih dan cokelat di dalamnya. Musim yang dinanti-nanti.
Jhalalin terkekeh.
***
“Tuanku, lihatlah awan menggumpal
dengan warna cokelat keemasan! Sepertinya musim akan berganti.”, hud-hud terus
menatap ke langit.
Sang tuan—yang sedang menghibur lebah-lebah
pohon Cellha beserta kumbang-kumbang di atas hamparan rerumput Messe—seketika menatap hud-hud dengan teduh. Lelaki itu
tiba-tiba melayang ke atas, satu diantara jemarinya mengeluarkan sinar merah kembali.
Tuan melihat bukit-bukit di sebelah utara, tidak ada apa-apa. Ia menoleh ke
bukit sebelah selatan, tidak terjadi apa-apa. Matanya melihat hud-hud kembali,
seakan mengatakan bahwa ada sesuatu lain yang akan terjadi. Apa benar, tuan memiliki
kekuatan tersendiri yang belum pernah diketahui hud-hud sekalipun.
Jhalalin telah keluar dari
perbukitan Gheraltha, perbukitan yang mengapit danau Hesha, danau bercahaya
kuning yang di dalamnya menyimpan kerajaan ratunya. Matahari masih belum
sepenuhnya keluar, meski ini sudah tidak terlalu pagi, namun langit masih keunguan,
ia menduga Ratu pasti telah bersiap di menara keagungan, menanti langit
berkilau kekuningan, menyambut Sang Maha Sinar. Ketika, ia melihat sinar merah berekor-ekor
turun ke bawah. Jhalalin sedikit berdegup, ia sejenak tengkurap diantara pepohonan Cellha
yang menyimpan gumpalan madu lebah di dalamnya. “Itu dia! Sinar merah berekor-ekor!”,
gumam Jhalalin. Makhluk yang tangan kanannya bersisik putih itu sadar bahwa
perjalanannya hampir setengah mendekati kerajaan tuan si hud-hud.
“Tuan, lihatlah warna cokelat
keemasan itu berganti kemerahan! Sepertinya memang bukan tanda musim bunga
Abyss, Tuan.”, hud-hud terus melihat awan.
“Kembalilah ke sarang kalian, semoga
semua akan baik-baik saja”, himbau Tuan kepada lebah-lebah dan segala jenis
kumbang di sekelilingnya, lalu Tuan mengajak hud-hud masuk ke dalam istana. Pesuruh
kerajaan siapa yang datang kemari dengan memakai minyak Kasethra, mata Tuan
sejenak melirik ke belakang. Sementara angin menggoyangkan dedaun Cellha dengan
sangat dahsyat.
Kerajaan itu bernama kerajaan Qaf—yang
seakan bergantung langsung pada langit kehijauan negeri Ham. Pintu masuk istana
dihubungkan dengan tangga hijau kebiruan kayu Helhasy berkelok. Kerajaan itu
dijaga oleh para prajurit Neml; pasukan semut hitam.
Jhalalin sebenarnya telah sampai,
“Sial! Dimana kerajaan itu berada!”, gumamnya. Makhluk itu hanya melihat
bukit-bukit ungu kebiruan diantara pepohon Cellha yang dipenuhi lebah-lebah. Ia
juga melihat sungai Kithir—sungai tembaga murni cair—yang mengalir kental dan
menyilaukan diantara perbukitan itu.
Kerajaan Qaf, kerajaan
terjaga—dimana tidak dapat dimasuki oleh makhluk halus berniat buruk, kecuali suatu
kekuatan mengizinkannya—tentu saja. Pasukan semut hitam tak pernah lengah. Satu
diantaranya berbisik pada Tuan yang tengah duduk di singgasana bahwa ada tamu
di luar. Tuan bertanya, bagaimana ciri-ciri makhluk itu. Semut hitam
menceritakan bahwa ia telah mencium bau minyak Kasethra pada tubuh makhluk itu,
lalu di tangan kanannya terdapat sisik putih khas ikan Hellesha, ikan tawar yang
telah punah beberapa abad yang lalu. Hud-hud menduga makhluk itu berasal dari negeri
makmur—negeri timur. Sejenak tuan berfikir, lalu siluet sinar merah diantara
jemarinya muncul kembali. Oh, makhluk itu berasal dari bangsa jin negeri Syin,
gumam tuan di dalam hati.
Jhalalin masih hilir mudik, ia belum
menemukan kerajaan yang diperintahkan sang ratu. Namun ia benar-benar merasa
diintai, ia tidak tahu siapa sebenarnya yang mengintai. Oh, alangkah agung kekuatan
si tuannya hud-hud itu, inilah yang menyebabkan ratu semakin penasaran. Diam-diam
Jhalalin menduga, jangan-jangan ratunya telah lama mengagumi pemilik kekuatan
ini—makhluk yang seingatnya berjalan dengan melayang. Jhalalin juga berpikir
kembali, padahal ratu lebih hebat jika hanya dengan berjalan dengan melayang,
ratu dapat sekejap menghilang, terbang dari negeri satu ke negeri lain dengan
hanya mengepakkan tangannya, bahkan jika mau ratu dapat memintal awan menjadi
selimut paling hangat di seluruh negeri. Padahal kemilau kerajaan ratu jauh mengagumkan
daripada sinar merah yang berekor-ekor itu. Rasanya sia-sia saja datang kemari,
tidak ada tanda-tanda keberadaan kerajaan. Ah, seandainya ratu datang. “Daerah
ini hanya dipenuhi lebah-lebah dan kumbang-kumbang yang berisik sekali”, cerutu
Jhalalin.
“Hingga matahari akan terbenam kau
masih menggerutu disitu saja, Jhalalin!”, mata magenta itu benar-benar
mengeluarkan lidah api. Rambut bergelombang itu semakin berwarna ungu pekat,
mawar-mawar di kepalanya mengeluarkan dedaun duri. Ia seperti tak dapat
membendung lagi rasa penasarannya.
“R…r….ra..ratu.. Maafkan hamba”,
Jhalalin terbata-bata. Harapan kecilnya secara kebetulan terwujud; ratu datang
kemari. Lalu ia bersimpuh.
“Tak perlu kau mencium kakiku
seperti itu. Mereka telah mengetahui asal kita melalui bau minyak Kasethra yang
melekat dalam tubuhmu.”, Ratu ingin bertemu langsung dengan tuan itu, baginya
Jhalalin hanya membuang-buang waktu.
“Sungguh sedari tadi hamba belum
menemukan kerajaan itu, Ratu”
Tuan turun dari singgasana, dengan
sinar merah diantara jemarinya, dan hud-hud yang mengepak-ngepakkan sayap tipis
di atas pundak tuannya. Ratu dan Jhalalin silau, seakan ada yang turun dari
langit yang kehijauan itu.
“Salam kedamaian, Ratu Negeri Syin.”,
kali pertama tuan berbicara dengan tak langsung memandang mata lawan bicaranya,
mata yang telah berubah warna menjadi cokelat muda serupa putik kristal cokelat
dalam kuncup Abyss.
“Salam kedamaian, Tuan Negeri Ham.”,
senyumannya merekah seperti mekar mawar-mawar merah di atas rambut ungunya. Ia
melirik sinar diantara jemari seorang tuan yang berada di hadapannya.
Tuan masih terdiam, lebah-lebah
pepohon Cellha beserta kumbang-kumbang di atas hamparan rerumput Messe
mengintip keberadaan mereka. Tuan mengangkat tangan kanannya dan berdengung
sebentar, barangkali tuan meyakinkan pada mereka bahwa semua akan baik-baik
saja. Ratu terheran. Dasar aneh!, Pikirnya.
“Maaf Ratu, silahkan duduk terlebih
dahulu”, tuan mempersilahkan ratu dan pesuruhnya duduk di atas kursi yang
terbuat dari kayu Gehassru. “Ini buah dari pohon Kressyn, Ratu. Seperti anggur
namun lebih manis, silahkan!”, tuan menghidangkan sepiring buah bulat yang
berwarna-warni, buah Kressyn.
“Saya tidak perlu berlama-lama,
Tuan”, namun dalam hati, selain sang ratu mengagumi sikap ramah tuan pemilik
hud-hud itu, ratu juga heran mengapa kursi yang didudukinya begitu harum dan
sedikit manis, serta sebenarnya ingin berbincang-bincang lama.
Tuan sejenak diam, hud-hud selalu
berbisik agar tuan selalu waspada, sebab muslihat itu dapat datang dari mana
saja, termasuk dari wanita anggun dengan segala yang melekat dalam dirinya.
“Baik, ada apa gerangan Ratu berkunjung kemari”, Tuan memulai percakapan,
langit begitu kehijauan, sementara awan yang semula kuning keemasan menjadi
merah muda seperti sedia kala. Sementara sinar merah itu tetap berpendar
diantara jemarinya.
“Baik, pertama saya mengakui
kehebatan Tuan yang mengetahui bahwa saya berasal dari Negeri Syin sebelum saya
memberi tahu akan hal itu (ini sebenarnya hal yang biasa saja, tuan. Bukan
bagian dari yang saya mau). Telah lama saya ingin bertemu dengan Tuan (termasuk
melalui mimpi yang dihantarkan oleh Jhalalin, pesuruh saya. Namun gagal
gara-gara kau dilindungi sinar merah itu)”, ratu dengan nada bicara yang
sedikit mendayu-dayu.
“Untuk apa?”
“Saya ingin tahu siapa (sebenarnya)
nama tuan”, mata cokelat itu mulai bermunculan titik-titik magenta.
“Sepenting itu?”, kali pertama tuan
seakan berwatak dingin, padahal dalam kesehariannya ia sangat ramah. Tuan
seakan tidak menjadi diri sendiri, namun sepertinya ini merupakan taktik
waspada terhadap ratu Negeri Syin yang seakan-akan siap merobek dada tuan.
Mata itu benar-benar berubah menjadi
warna magenta pekat, namun kembali menjadi cokelat muda sebab ratu ingin
menahan rasa penasarannya.
“Ratu Sheba, apakah maksud anda
benar-benar ingin melihat kerajaanku?”, tuan terkekeh
Ratu tersentak. Darimana tuan
dihadapannya tahu bahwa namanya Sheba. Sialan. “Tuan, darimana engkau tahu bahwa
namaku Sheba beserta maksudku datang kemari? Oh, pasti dia yang memberi tahu
padamu!”, ratu menatap tajam si hud-hud. Hud-hud menjadi kambing hitam dalam
perbincangan ini, kali ini hud-hud hanya terbelalak memandang tuannya (dan Ratu
Sheba) yang sepertinya sama-sama menyimpan suatu kemampuan.
“Ratu Sheba, ratu dari kerajaan di
Negeri Syin (negeri kerajaan jin). Namun, saya belum pernah berkelana kesana”
Ya,ya,ya, tentu saja, tuan belum
pernah datang kesana, tak perlu tuan memberi tahu saya tentang hal itu. “Tuan,
siapa nama engkau?”, mata itu menjadi magenta kembali, sebenarnya Ratu Sheba
tidak mau terlihat bodoh dengan menanyakan hal yang tak lebih penting dari
sesuatu yang lain itu. Sesekali mata magenta itu terus mengawasi sinar merah
yang keluar diantara jemari lelaki dihadapannya.
Tuan berdiri, dan berjalan perlahan
sedikit menjauh dari kursi Gehassru, “Saya… Sholomon. Hud-hud saya tidak pernah
mengatakan apapun tentang anda pula tentang maksud anda. Baiklah, jika anda
benar-benar ingin melihat kerajaan saya”
Jhilalin terbelalak, “Sho..lo..mon? Tuan
Sholomon, aih, Raja Sholomon!”, ia mengenal nama itu dalam suatu yang ada dalam
halaman terakhir kitab tebal panutan ajaran Sang Maha Sinar.
“Oh, tuan Sholomon”, mulut Ratu
Sheba melingkar sangat lama memandang punggung lelaki itu, ia tak menyangka
kalau lelaki yang dikenal sebagai ‘tuan’ itu sebenarnya raja diraja seperti
yang disebutkan dalam kitab-kitab. Raja Sholomon, terkuaklah sudah tentang tuan
pemilik hud-hud peramal itu.
Namun
ini belum sepenuhnya. Sang Raja tahu, Ratu Sheba hanya ingin melihat
kerajaannya sebentar saja. Lagipula, salah satu makhluk berbalut jubah cahaya
pernah berkata padanya, bahwa asal tidak ada niat buruk diantaranya, maka semua
akan baik-baik saja.
Ketika raja sholomon melentikkan
jemarinya yang mengapit sinar merah—yang kata Jhilalin berekor-ekor itu—maka
seketika semua berubah. Kerajaan beraroma harum dan manis, semua bernuansa
cokelat muda seperti mata Ratu Sheba. Bangunan-bangunan dari gerbang, dinding,
lampu, jendela, singgasana, tempat dayang-dayang, pintu kamar, dan lainnya
terbuat dari kayu Gehassru. Kursi tempat duduknya Ratu Sheba dan Jhalalin
hanyalah satu diantara perabotan kerajaan. Mereka tak pernah menduga bahwa
sedari tadi ia telah berada di dalam tempat berteduh Raja Sholomon. Di luar
sana, terdapat tangga hijau kebiruan dari kayu Helhasy berkelok. Hanya itu yang
berbeda. Sementara pohon Kressyn yang buahnya serupa anggur warna-warni itu,
tumbuh dengan subur di dalam singgasana, seakan membentuk spiral-spiral kecil
dari pintu kerajaan menuju tempat duduknya Raja Sholomon.
Ratu Sheba masih melihat sisi-sisi
kerajaan, semua berasal dari kayu yang harum dan manis, kayu Gehassru. Ia
bersama Jhilalin terdiam tanpa kata-kata.
“Jadi beginilah kerajaan saya, Ratu
Sheba. Sudah cukup? Ohya, itu prajurit-prajurit saya.”, Raja Sholomon membuka
mulut. “Silahkan, prajurit-prajurit Neml!”, Raja mempersilahkan para
prajuritnya menghidangkan minuman khas Negeri Ham pada Ratu dan pesuruhnya.
Seketika Ratu Sheba terpana, kali pertama
ini ia melihat kekompakan luar biasa makhluk-makhluk bernama Neml itu, dan ia
juga baru tahu bahwa makhluk semacam mereka diberi tahta sebagai prajurit,
terlalu manis! Seperti kayu Gehassru, terlalu manis!. “Ha.. ha… ha… Jadi
seperti ini saja, kerajaanmu, Maha Tuan Raja Sholomon? Terbuat dari kayu yang
akan segera lapuk jikalau dijilat seekor rayap! Ha.. ha.. ha.. Lalu
prajurit-prajuritmu Neml itu hanyalah gerombolan semut hitam yang tak lebih
dari mengganggu kaki melangkah!”, “Astaga Raja Sholomon. Baiklah aku pamit, kutunggu
kau di kerajaanku!”, tantang Ratu Sheba yang seketika menghilang bersama
Jhilalin. Tuan hanya diam. Tidak mengiyakan maupun menolak. Langit tampak ungu
kehitaman, ternyata malam telah tiba. Syukurlah tidak terjadi apa-apa di Negeri
Ham.
Kawanan kunang-kunang yang perutnya
berwarna kuning kehijauan itu yang menghibur Raja Sholomon sepanjang malam itu.
Sementara hud-hud tetap meramal-ramal apa yang akan terjadi di hari esok. “Kunang,
kau tahu kerajaan Negeri Syin yang berada di perbukitan Gheraltha?”.
“Maksud tuan, kerajaan Ratu Sheba?”,
jawab mereka serentak.
“Tepat sekali”
Para kunang itu sejenak berpikir.
Lalu satu persatu menjelaskan. “Begini, tuan. Seperti yang tuan ketahui bahwa kerajaan
adalah kerajaan jin”, kunang pertama menyenggol kunang sebelahnya, “Terus tuan,
kerajaan Ratu Sheba berada di bawah danau kuning berkilauan, danau Hesha”,
kunang kedua menyenggol sayap kunang berikutnya, “Lalu tuan, selebihnya kami
tidak tahu sebab disana wilayah perairan, makhluk darat apalagi serangga
seperti kami tak boleh masuk”, mereka semua menunduk.
“Oh begitu, baiklah”, tuan menutup percakapan
dan kini ia yang berganti penasaran dengan kerajaan Ratu Sheba. Apakah benar
yang dikatakan kawanan kunang-kunang.
Di kerajaannya, Ratu Sheba terus
tertawa teringat para prajurit kerajaan Negeri Ham yang hanyalah semut hitam.
Bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu kesukaan rayap. Itu konyol sekali.
Ah, ada satu hal yang terlewat. Benda apa yang bersinar merah—terapit—di antara
jemari Raja Sholomon itu. Diam-diam ratu mengharapkan agar esok Raja Sholomon
mendatangi kerajaannya. Ia menyiapkan prajurit untuk menyambut tuan pemilik
hud-hud peramal itu.
***
Barisan prajurit Neml seakan
membentuk gugusan bintang yang menyatu padu di hamparan hijau Syin, mereka
telah sampai di depan danau Hesha. Langit di wilayah itu sungguh berbeda dengan
langit di wilayah Ham yang kehijauan ketika pagi datang. Di situ langit
berwarna cokelat kekuningan.
“Ia
telah datang bersama prajuritnya (dan hud-hud tentu saja!)”, kata Jhalalin
kepada Ratunya.
“Apakah
jemarinya masih terdapat benda bersinar merah itu?”
“Masih,
Ratu. Masih. Sepertinya benda itu sumber kekuatannya”
“Hm..
Baiklah”, Ratu Sheba siap menyambut Raja Sholomon.
Sebelum Raja Sholomon member salam
pada Ratu Sheba, tiba-tiba tubuhnya tenggelam begitu saja, sementara hud-hud beserta
prajurit-prajurit semut hitam menunggu dan mengawasi tuannya dari tepi danau.
“Tuan! Kami menjagamu disini, tuan! Jaga dirimu baik-baik, tuan!”, mereka
berseru dari daratan. Mereka juga melihat, sinar merah yang berekor-ekor—yang
berada diantara jemari tuannya—mampu memerahkan seluruh perairan danau Hesha
yang semula berwarna kekuningan maupun Negeri Syin di daratan. “Sinar merah
yang sempurna pendarnya!”, gumam hud-hud terkagum-kagum, Negeri Syin berwarna
merah.
“Ratu Sheba, dia benar-benar
datang!”, Jhalalin merasakan sinar merah Raja Sholomon berpendar di seluruh wilayah perairan tanpa ia mengetahui bahwa di
luar sana—di daratan Syin—semua seperti senja, senja merah. Kemudian semua
warna merah itu lenyap—muksa—ketika Raja Sholomon sampai pada singgasana.
“Sendirian!”, Ratu Sheba girang.
Semula, Raja Sholomon khawatir tidak
dapat bernafas, ternyata di dalam danau itu berongga, berisi udara. Seperti
udara yang sengaja disimpan disitu bertahun-tahun. Raja terkagum-kagum, melihat
ikan-ikan keemasan yang dapat hidup di dalam pilar-pilar, dinding-dinding,
lantai-lantai, juga seluruh atap bangunan megah itu, bangunan kaca.
“Selamat datang, Raja Sholomon!”, sambut
semua ikan keemasan itu, bersama Ratu Sheba, juga Jhalalin.
“Saya
benar-benar takjub!”, Mata Raja Sholomon berbinar-binar. Ia berjalan dengan
tidak melayang, namun tertatih-tatih mendekati Ratu Sheba beserta prajuritnya.
“Ha..
Ha.. Ha.. Kenapa jalanmu begitu, Raja Sholomon?”
“Saya
takut terpeleset, Ratu Sheba. Istanamu terbuat dari kaca yang licin dengan
ikan-ikan di dalamnya”
“Kau
kaget dengan segala kehebatan di istanaku, ya?”, Ratu Sheba menyisir rambutnya
yang keunguan dengan mawar-mawar di atasnya yang tampak semakin segar itu.
Raja
Sholomon mencoba berjalan dengan tegap, ia tak peduli lagi bahwa istana kaca
itu sangatlah licin. Ia mendekati Ratu Sheba.
“Ratu
Sheba, sebenarnya apa maumu?”
“Aku
mau sesuatu yang bersinar merah diantara jemarimu, dengan cahaya yang benderang
berekor-ekor itu, aku tahu kekuatanmu berada disitu”
“Kau
salah, Ratu Sheba. Benda itu yang tak lain ialah batu merah delima telah
muksa—menghilang—sejak tadi ketika saya tenggelam di perairan Hesha(mu) ini.”
“Tadi?
Kau bilang tadi? Kau lupa ini negeri Syin, Raja Sholomon. Negeri Jin. Tadi
perkiraanmu disini adalah 300 tahun di alammu sana”
“Saya
sudah paham itu, pertemuan kita waktu itu juga beratus-ratus tahun meski terasa
sejenak. Lalu untuk apa anda mau batu merah delima itu, Ratu Sheba?”
“Aku
menunggu batu ajaib itu beratus ribu tahun sejak moyangku belum menjelma
menjadi ikan-ikan di perairan ini, Raja Sholomon. Sementara kau
menghilangkannya dengan sebab perairan Hesha-ku ini. Kau terlalu mengada-ada!”,
lalu Ratu Sheba melanjutkan, “Aku ingin memiliki kekuatan sepertimu, seperti
yang tertera pada kitabku, Sholomon”.
“Ada
kekuatan lain selain kekuatan ghaib, dan sungguh kekuatan saya bukan berasal
dari batu merah delima yang sinarnya berekor-ekor itu, Ratu Sheba.” , Raja
Sholomon menjelaskan.
“Coba
buktikan, Raja Sholomon!”, mata cokelat itu menjadi magenta lebih pekat dari
biasanya.
“Baiklah.
Ada syarat, Ratu”
“Hmm..
Syarat?”
“Anda
akan mengetahui kekuatan Tuhan saya. Baiklah, ketika saya mengatakan kedipkan
mata, maka kedipkan mata, Ratu Sheba. Mengerti?”
“Mengerti,
tentu saja”
Kedipkan
mata!
“Oh………”,
ia merasa telempar ke daratan. Ratu Sheba tersungkur, “Sungguh ini luar biasa”,
matanya dikedip-kedipkan lagi, ia melihat dengan mata telanjangnya bahwa danau
Hesha— yang di dalamnya menyimpan istana kaca—hanya sebatas kolam kecil,
sementara sekelilingnya yang tak lain wilayah Syin telah menjadi Istana sangat
megah dengan sinar merah yang begitu memukau.
“Sholomon,
inikah kekuatanTuhanmu?”
Agung
bukan main, Sholomon?
Sholomon…
Apa
kau turut moksa. (*)
Jombang, 5
Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar