Cerpen - Ratu Sheba dan Sholomon



Ratu Sheba dan Sholomon
Oleh : Farihatun Nafiah
(Cerpen ini Pernah diikutkan dalam Ajang
Pemilihan Cerpil UNSA 2015)

[ Sumber Gambar : http://www.isains.com/2014/11/kebra-nagast-ungkap-kerajaan-ratu-saba.html] 

            Syahdan, bukan sekali waktu angin mendadak pelan ketika sepasang kakinya melintasi jalan negeri Ham dengan setengah melayang—tak menyentuh tanah. Diantara pepohon rindang berdaun nila, dipandanglah segala arah yang ia mau. Warna langit di belakangnya memang kehijauan. Di samping-sampingnya, segala rupa binatang berseru di balik kayu pepohon maupun dedaun semak. Ada yang mengaum, ada yang mengeong, meringkik, mengendus, mendesis, mengembek, mengerang. Banyak. Ia terhenti sebentar, mendengar semua suara binatang itu, lalu membalasnya satu per satu, seakan mengatakan suatu kesejahteraan. Rupanya ia mengerti apa yang sedang dibicarakan antara makhluk-makhluk itu. Seekor hud-hud berkelebaran di atas pundaknya, sembari membisikkan bahwa akan ada sesuatu yang akan menimpa tuannya.
***
            “Kali pertama ia terbangun, ia merasakan bahwa pertemuan dalam mimpi itu terbawa hingga matanya terbuka kembali. Ia mencoba mengingat, namun sekelebat sinar merah diantara salah satu jemarinya mengalihkan perhatiannya. Sepertinya ia dijaga oleh sinar merah yang memiliki banyak ekor itu”, Kata Jhalalin.
Tentu saja berita ini jauh sebelum terdengar kabar tentang segerombolan makhluk berjubah wol yang bangkit dari nyenyak ratusan tahun di sebuah gua.
            “Sinar merah yang berekor-ekor?”, Seorang wanita—dengan rambut bergelombang ungu menyala yang dipenuhi mawar merah segar diatas kepalanya—terbelalak.
            “Hamba pun ingin tahu, siapa makhluk yang kakinya tak menyentuh tanah itu sebenarnya, Ratu”.
            “Ajak dia kemari, secepatnya!”, semula warna mata wanita itu cokelat muda, namun seketika menjadi magenta. Itu pertanda bahwa perintahnya harus segera dijalankan. Kalau tidak, mata itu akan mengeluarkan api merah pekat dengan juluran-juluran jingga di sekitarnya, konon api itu dapat membakar tubuh siapa saja yang tak patuh terhadapnya.
            “Baik, Ratu”, Jhalalin menunduk sembari mengepalkan tangan kanannya yang bersisik putih—di dada atas sebelah kiri. Ia segera menjalankan tugas, sebenarnya ia ingin bertanya undangan dalam rangka apa, bukankah berjalan dengan melayang ialah hal yang biasa saja, bukankah sinar merah (meskipun berekor-ekor dan semacamnya) tak lebih ajaib dari kemilau singgasana ratu, namun ia tak mau pikir panjang agar tidak kena murka.
            “Cukup katakan saja bahwa aku ingin bertemu dengannya di sini”, sepertinya Ratu mendengar suara dalam diri Jhalalin.
Jauh-jauh hari, Jhalalin telah diutus Sang Ratu untuk memberikan undangan pertemuan (antara ratu dan makhluk berkaki melayang) melalui mimpi. Tapi, Jhalalin selalu gagal. Ia merasa dihalang oleh semburat sinar merah yang berekor banyak. Kali ini, pesuruh itu akan memberikan undangan pertemuan tidak melalui mimpi, tapi secara langsung, meskipun ia tahu hud-hud peramal selalu siaga dengan apa-apa yang akan terjadi pada tuannya.
“Jangan lupa pakailah minyak wangi biji Kasethra”, bola mata itu berwarna magenta lebih pekat.
“Baik, Ratu”, Jhalalin hampir lupa. Minyak Kasethra harus dipakainya setiap keluar dari kerajaan, agar baunya mampu menyamarkan firasat-firasat para peramal. Sebab dengan minyak itu, para peramal menduga bahwa musim angin segera berganti dengan musim mekar bunga Abyss, bunga kedamaian dengan warna kisthi— warna perak—yang melindungi putik-putik kristal putih dan cokelat di dalamnya. Musim yang dinanti-nanti. Jhalalin terkekeh.
***
            “Tuanku, lihatlah awan menggumpal dengan warna cokelat keemasan! Sepertinya musim akan berganti.”, hud-hud terus menatap ke langit.
            Sang tuan—yang sedang menghibur lebah-lebah pohon Cellha beserta kumbang-kumbang di atas hamparan rerumput Messe—seketika  menatap hud-hud dengan teduh. Lelaki itu tiba-tiba melayang ke atas, satu diantara jemarinya mengeluarkan sinar merah kembali. Tuan melihat bukit-bukit di sebelah utara, tidak ada apa-apa. Ia menoleh ke bukit sebelah selatan, tidak terjadi apa-apa. Matanya melihat hud-hud kembali, seakan mengatakan bahwa ada sesuatu lain yang akan terjadi. Apa benar, tuan memiliki kekuatan tersendiri yang belum pernah diketahui hud-hud sekalipun.
            Jhalalin telah keluar dari perbukitan Gheraltha, perbukitan yang mengapit danau Hesha, danau bercahaya kuning yang di dalamnya menyimpan kerajaan ratunya. Matahari masih belum sepenuhnya keluar, meski ini sudah tidak terlalu pagi, namun langit masih keunguan, ia menduga Ratu pasti telah bersiap di menara keagungan, menanti langit berkilau kekuningan, menyambut Sang Maha Sinar. Ketika, ia melihat sinar merah berekor-ekor turun ke bawah. Jhalalin sedikit berdegup, ia  sejenak tengkurap diantara pepohonan Cellha yang menyimpan gumpalan madu lebah di dalamnya. “Itu dia! Sinar merah berekor-ekor!”, gumam Jhalalin. Makhluk yang tangan kanannya bersisik putih itu sadar bahwa perjalanannya hampir setengah mendekati kerajaan tuan si hud-hud.
            “Tuan, lihatlah warna cokelat keemasan itu berganti kemerahan! Sepertinya memang bukan tanda musim bunga Abyss, Tuan.”, hud-hud terus melihat awan.
            “Kembalilah ke sarang kalian, semoga semua akan baik-baik saja”, himbau Tuan kepada lebah-lebah dan segala jenis kumbang di sekelilingnya, lalu Tuan mengajak hud-hud masuk ke dalam istana. Pesuruh kerajaan siapa yang datang kemari dengan memakai minyak Kasethra, mata Tuan sejenak melirik ke belakang. Sementara angin menggoyangkan dedaun Cellha dengan sangat dahsyat.
            Kerajaan itu bernama kerajaan Qaf—yang seakan bergantung langsung pada langit kehijauan negeri Ham. Pintu masuk istana dihubungkan dengan tangga hijau kebiruan kayu Helhasy berkelok. Kerajaan itu dijaga oleh para prajurit Neml; pasukan semut hitam.
            Jhalalin sebenarnya telah sampai, “Sial! Dimana kerajaan itu berada!”, gumamnya. Makhluk itu hanya melihat bukit-bukit ungu kebiruan diantara pepohon Cellha yang dipenuhi lebah-lebah. Ia juga melihat sungai Kithir—sungai tembaga murni cair—yang mengalir kental dan menyilaukan diantara perbukitan itu.
            Kerajaan Qaf, kerajaan terjaga—dimana tidak dapat dimasuki oleh makhluk halus berniat buruk, kecuali suatu kekuatan mengizinkannya—tentu saja. Pasukan semut hitam tak pernah lengah. Satu diantaranya berbisik pada Tuan yang tengah duduk di singgasana bahwa ada tamu di luar. Tuan bertanya, bagaimana ciri-ciri makhluk itu. Semut hitam menceritakan bahwa ia telah mencium bau minyak Kasethra pada tubuh makhluk itu, lalu di tangan kanannya terdapat sisik putih khas ikan Hellesha, ikan tawar yang telah punah beberapa abad yang lalu. Hud-hud menduga makhluk itu berasal dari negeri makmur—negeri timur. Sejenak tuan berfikir, lalu siluet sinar merah diantara jemarinya muncul kembali. Oh, makhluk itu berasal dari bangsa jin negeri Syin, gumam tuan di dalam hati.
            Jhalalin masih hilir mudik, ia belum menemukan kerajaan yang diperintahkan sang ratu. Namun ia benar-benar merasa diintai, ia tidak tahu siapa sebenarnya yang mengintai. Oh, alangkah agung kekuatan si tuannya hud-hud itu, inilah yang menyebabkan ratu semakin penasaran. Diam-diam Jhalalin menduga, jangan-jangan ratunya telah lama mengagumi pemilik kekuatan ini—makhluk yang seingatnya berjalan dengan melayang. Jhalalin juga berpikir kembali, padahal ratu lebih hebat jika hanya dengan berjalan dengan melayang, ratu dapat sekejap menghilang, terbang dari negeri satu ke negeri lain dengan hanya mengepakkan tangannya, bahkan jika mau ratu dapat memintal awan menjadi selimut paling hangat di seluruh negeri. Padahal kemilau kerajaan ratu jauh mengagumkan daripada sinar merah yang berekor-ekor itu. Rasanya sia-sia saja datang kemari, tidak ada tanda-tanda keberadaan kerajaan. Ah, seandainya ratu datang. “Daerah ini hanya dipenuhi lebah-lebah dan kumbang-kumbang yang berisik sekali”, cerutu Jhalalin.
            “Hingga matahari akan terbenam kau masih menggerutu disitu saja, Jhalalin!”, mata magenta itu benar-benar mengeluarkan lidah api. Rambut bergelombang itu semakin berwarna ungu pekat, mawar-mawar di kepalanya mengeluarkan dedaun duri. Ia seperti tak dapat membendung lagi rasa penasarannya.
            “R…r….ra..ratu.. Maafkan hamba”, Jhalalin terbata-bata. Harapan kecilnya secara kebetulan terwujud; ratu datang kemari. Lalu ia bersimpuh.
            “Tak perlu kau mencium kakiku seperti itu. Mereka telah mengetahui asal kita melalui bau minyak Kasethra yang melekat dalam tubuhmu.”, Ratu ingin bertemu langsung dengan tuan itu, baginya Jhalalin hanya membuang-buang waktu.
            “Sungguh sedari tadi hamba belum menemukan kerajaan itu, Ratu”
            Tuan turun dari singgasana, dengan sinar merah diantara jemarinya, dan hud-hud yang mengepak-ngepakkan sayap tipis di atas pundak tuannya. Ratu dan Jhalalin silau, seakan ada yang turun dari langit yang kehijauan itu.
            “Salam kedamaian, Ratu Negeri Syin.”, kali pertama tuan berbicara dengan tak langsung memandang mata lawan bicaranya, mata yang telah berubah warna menjadi cokelat muda serupa putik kristal cokelat dalam kuncup Abyss.
            “Salam kedamaian, Tuan Negeri Ham.”, senyumannya merekah seperti mekar mawar-mawar merah di atas rambut ungunya. Ia melirik sinar diantara jemari seorang tuan yang berada di hadapannya.
            Tuan masih terdiam, lebah-lebah pepohon Cellha beserta kumbang-kumbang di atas hamparan rerumput Messe mengintip keberadaan mereka. Tuan mengangkat tangan kanannya dan berdengung sebentar, barangkali tuan meyakinkan pada mereka bahwa semua akan baik-baik saja. Ratu terheran. Dasar aneh!, Pikirnya.
            “Maaf Ratu, silahkan duduk terlebih dahulu”, tuan mempersilahkan ratu dan pesuruhnya duduk di atas kursi yang terbuat dari kayu Gehassru. “Ini buah dari pohon Kressyn, Ratu. Seperti anggur namun lebih manis, silahkan!”, tuan menghidangkan sepiring buah bulat yang berwarna-warni, buah Kressyn.
            “Saya tidak perlu berlama-lama, Tuan”, namun dalam hati, selain sang ratu mengagumi sikap ramah tuan pemilik hud-hud itu, ratu juga heran mengapa kursi yang didudukinya begitu harum dan sedikit manis, serta sebenarnya ingin berbincang-bincang lama.
            Tuan sejenak diam, hud-hud selalu berbisik agar tuan selalu waspada, sebab muslihat itu dapat datang dari mana saja, termasuk dari wanita anggun dengan segala yang melekat dalam dirinya. “Baik, ada apa gerangan Ratu berkunjung kemari”, Tuan memulai percakapan, langit begitu kehijauan, sementara awan yang semula kuning keemasan menjadi merah muda seperti sedia kala. Sementara sinar merah itu tetap berpendar diantara jemarinya.
            “Baik, pertama saya mengakui kehebatan Tuan yang mengetahui bahwa saya berasal dari Negeri Syin sebelum saya memberi tahu akan hal itu (ini sebenarnya hal yang biasa saja, tuan. Bukan bagian dari yang saya mau). Telah lama saya ingin bertemu dengan Tuan (termasuk melalui mimpi yang dihantarkan oleh Jhalalin, pesuruh saya. Namun gagal gara-gara kau dilindungi sinar merah itu)”, ratu dengan nada bicara yang sedikit mendayu-dayu.
            “Untuk apa?”
            “Saya ingin tahu siapa (sebenarnya) nama tuan”, mata cokelat itu mulai bermunculan titik-titik magenta.
            “Sepenting itu?”, kali pertama tuan seakan berwatak dingin, padahal dalam kesehariannya ia sangat ramah. Tuan seakan tidak menjadi diri sendiri, namun sepertinya ini merupakan taktik waspada terhadap ratu Negeri Syin yang seakan-akan siap merobek dada tuan.
            Mata itu benar-benar berubah menjadi warna magenta pekat, namun kembali menjadi cokelat muda sebab ratu ingin menahan rasa penasarannya.
            “Ratu Sheba, apakah maksud anda benar-benar ingin melihat kerajaanku?”, tuan terkekeh
            Ratu tersentak. Darimana tuan dihadapannya tahu bahwa namanya Sheba. Sialan. “Tuan, darimana engkau tahu bahwa namaku Sheba beserta maksudku datang kemari? Oh, pasti dia yang memberi tahu padamu!”, ratu menatap tajam si hud-hud. Hud-hud menjadi kambing hitam dalam perbincangan ini, kali ini hud-hud hanya terbelalak memandang tuannya (dan Ratu Sheba) yang sepertinya sama-sama menyimpan suatu kemampuan.
            “Ratu Sheba, ratu dari kerajaan di Negeri Syin (negeri kerajaan jin). Namun, saya belum pernah berkelana kesana”
            Ya,ya,ya, tentu saja, tuan belum pernah datang kesana, tak perlu tuan memberi tahu saya tentang hal itu. “Tuan, siapa nama engkau?”, mata itu menjadi magenta kembali, sebenarnya Ratu Sheba tidak mau terlihat bodoh dengan menanyakan hal yang tak lebih penting dari sesuatu yang lain itu. Sesekali mata magenta itu terus mengawasi sinar merah yang keluar diantara jemari lelaki dihadapannya.
            Tuan berdiri, dan berjalan perlahan sedikit menjauh dari kursi Gehassru, “Saya… Sholomon. Hud-hud saya tidak pernah mengatakan apapun tentang anda pula tentang maksud anda. Baiklah, jika anda benar-benar ingin melihat kerajaan saya”
            Jhilalin terbelalak, “Sho..lo..mon? Tuan Sholomon, aih, Raja Sholomon!”, ia mengenal nama itu dalam suatu yang ada dalam halaman terakhir kitab tebal panutan ajaran Sang Maha Sinar.
            “Oh, tuan Sholomon”, mulut Ratu Sheba melingkar sangat lama memandang punggung lelaki itu, ia tak menyangka kalau lelaki yang dikenal sebagai ‘tuan’ itu sebenarnya raja diraja seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab. Raja Sholomon, terkuaklah sudah tentang tuan pemilik hud-hud peramal itu.
Namun ini belum sepenuhnya. Sang Raja tahu, Ratu Sheba hanya ingin melihat kerajaannya sebentar saja. Lagipula, salah satu makhluk berbalut jubah cahaya pernah berkata padanya, bahwa asal tidak ada niat buruk diantaranya, maka semua akan baik-baik saja.
            Ketika raja sholomon melentikkan jemarinya yang mengapit sinar merah—yang kata Jhilalin berekor-ekor itu—maka seketika semua berubah. Kerajaan beraroma harum dan manis, semua bernuansa cokelat muda seperti mata Ratu Sheba. Bangunan-bangunan dari gerbang, dinding, lampu, jendela, singgasana, tempat dayang-dayang, pintu kamar, dan lainnya terbuat dari kayu Gehassru. Kursi tempat duduknya Ratu Sheba dan Jhalalin hanyalah satu diantara perabotan kerajaan. Mereka tak pernah menduga bahwa sedari tadi ia telah berada di dalam tempat berteduh Raja Sholomon. Di luar sana, terdapat tangga hijau kebiruan dari kayu Helhasy berkelok. Hanya itu yang berbeda. Sementara pohon Kressyn yang buahnya serupa anggur warna-warni itu, tumbuh dengan subur di dalam singgasana, seakan membentuk spiral-spiral kecil dari pintu kerajaan menuju tempat duduknya Raja Sholomon.
            Ratu Sheba masih melihat sisi-sisi kerajaan, semua berasal dari kayu yang harum dan manis, kayu Gehassru. Ia bersama Jhilalin terdiam tanpa kata-kata.
            “Jadi beginilah kerajaan saya, Ratu Sheba. Sudah cukup? Ohya, itu prajurit-prajurit saya.”, Raja Sholomon membuka mulut. “Silahkan, prajurit-prajurit Neml!”, Raja mempersilahkan para prajuritnya menghidangkan minuman khas Negeri Ham pada Ratu dan pesuruhnya.
            Seketika Ratu Sheba terpana, kali pertama ini ia melihat kekompakan luar biasa makhluk-makhluk bernama Neml itu, dan ia juga baru tahu bahwa makhluk semacam mereka diberi tahta sebagai prajurit, terlalu manis! Seperti kayu Gehassru, terlalu manis!. “Ha.. ha… ha… Jadi seperti ini saja, kerajaanmu, Maha Tuan Raja Sholomon? Terbuat dari kayu yang akan segera lapuk jikalau dijilat seekor rayap! Ha.. ha.. ha.. Lalu prajurit-prajuritmu Neml itu hanyalah gerombolan semut hitam yang tak lebih dari mengganggu kaki melangkah!”, “Astaga Raja Sholomon. Baiklah aku pamit, kutunggu kau di kerajaanku!”, tantang Ratu Sheba yang seketika menghilang bersama Jhilalin. Tuan hanya diam. Tidak mengiyakan maupun menolak. Langit tampak ungu kehitaman, ternyata malam telah tiba. Syukurlah tidak terjadi apa-apa di Negeri Ham.
            Kawanan kunang-kunang yang perutnya berwarna kuning kehijauan itu yang menghibur Raja Sholomon sepanjang malam itu. Sementara hud-hud tetap meramal-ramal apa yang akan terjadi di hari esok. “Kunang, kau tahu kerajaan Negeri Syin yang berada di perbukitan Gheraltha?”. 
            “Maksud tuan, kerajaan Ratu Sheba?”, jawab mereka serentak.
            “Tepat sekali”
            Para kunang itu sejenak berpikir. Lalu satu persatu menjelaskan. “Begini, tuan. Seperti yang tuan ketahui bahwa kerajaan adalah kerajaan jin”, kunang pertama menyenggol kunang sebelahnya, “Terus tuan, kerajaan Ratu Sheba berada di bawah danau kuning berkilauan, danau Hesha”, kunang kedua menyenggol sayap kunang berikutnya, “Lalu tuan, selebihnya kami tidak tahu sebab disana wilayah perairan, makhluk darat apalagi serangga seperti kami tak boleh masuk”, mereka semua menunduk.
            “Oh begitu, baiklah”, tuan menutup percakapan dan kini ia yang berganti penasaran dengan kerajaan Ratu Sheba. Apakah benar yang dikatakan kawanan kunang-kunang.
            Di kerajaannya, Ratu Sheba terus tertawa teringat para prajurit kerajaan Negeri Ham yang hanyalah semut hitam. Bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu kesukaan rayap. Itu konyol sekali. Ah, ada satu hal yang terlewat. Benda apa yang bersinar merah—terapit—di antara jemari Raja Sholomon itu. Diam-diam ratu mengharapkan agar esok Raja Sholomon mendatangi kerajaannya. Ia menyiapkan prajurit untuk menyambut tuan pemilik hud-hud peramal itu.
***
            Barisan prajurit Neml seakan membentuk gugusan bintang yang menyatu padu di hamparan hijau Syin, mereka telah sampai di depan danau Hesha. Langit di wilayah itu sungguh berbeda dengan langit di wilayah Ham yang kehijauan ketika pagi datang. Di situ langit berwarna cokelat kekuningan.
“Ia telah datang bersama prajuritnya (dan hud-hud tentu saja!)”, kata Jhalalin kepada Ratunya.
“Apakah jemarinya masih terdapat benda bersinar merah itu?”
“Masih, Ratu. Masih. Sepertinya benda itu sumber kekuatannya”
“Hm.. Baiklah”, Ratu Sheba siap menyambut Raja Sholomon.
            Sebelum Raja Sholomon member salam pada Ratu Sheba, tiba-tiba tubuhnya tenggelam begitu saja, sementara hud-hud beserta prajurit-prajurit semut hitam menunggu dan mengawasi tuannya dari tepi danau. “Tuan! Kami menjagamu disini, tuan! Jaga dirimu baik-baik, tuan!”, mereka berseru dari daratan. Mereka juga melihat, sinar merah yang berekor-ekor—yang berada diantara jemari tuannya—mampu memerahkan seluruh perairan danau Hesha yang semula berwarna kekuningan maupun Negeri Syin di daratan. “Sinar merah yang sempurna pendarnya!”, gumam hud-hud terkagum-kagum, Negeri Syin berwarna merah.
            “Ratu Sheba, dia benar-benar datang!”, Jhalalin merasakan sinar merah Raja Sholomon berpendar di seluruh  wilayah perairan tanpa ia mengetahui bahwa di luar sana—di daratan Syin—semua seperti senja, senja merah. Kemudian semua warna merah itu lenyap—muksa—ketika Raja Sholomon sampai pada singgasana.
            “Sendirian!”, Ratu Sheba girang.
            Semula, Raja Sholomon khawatir tidak dapat bernafas, ternyata di dalam danau itu berongga, berisi udara. Seperti udara yang sengaja disimpan disitu bertahun-tahun. Raja terkagum-kagum, melihat ikan-ikan keemasan yang dapat hidup di dalam pilar-pilar, dinding-dinding, lantai-lantai, juga seluruh atap bangunan megah itu, bangunan kaca.
            “Selamat datang, Raja Sholomon!”, sambut semua ikan keemasan itu, bersama Ratu Sheba, juga Jhalalin.
“Saya benar-benar takjub!”, Mata Raja Sholomon berbinar-binar. Ia berjalan dengan tidak melayang, namun tertatih-tatih mendekati Ratu Sheba beserta prajuritnya.
“Ha.. Ha.. Ha.. Kenapa jalanmu begitu, Raja Sholomon?”
“Saya takut terpeleset, Ratu Sheba. Istanamu terbuat dari kaca yang licin dengan ikan-ikan di dalamnya”
“Kau kaget dengan segala kehebatan di istanaku, ya?”, Ratu Sheba menyisir rambutnya yang keunguan dengan mawar-mawar di atasnya yang tampak semakin segar itu.
Raja Sholomon mencoba berjalan dengan tegap, ia tak peduli lagi bahwa istana kaca itu sangatlah licin. Ia mendekati Ratu Sheba.
“Ratu Sheba, sebenarnya apa maumu?”
“Aku mau sesuatu yang bersinar merah diantara jemarimu, dengan cahaya yang benderang berekor-ekor itu, aku tahu kekuatanmu berada disitu”
“Kau salah, Ratu Sheba. Benda itu yang tak lain ialah batu merah delima telah muksa—menghilang—sejak tadi ketika saya tenggelam di perairan Hesha(mu) ini.”
“Tadi? Kau bilang tadi? Kau lupa ini negeri Syin, Raja Sholomon. Negeri Jin. Tadi perkiraanmu disini adalah 300 tahun di alammu sana”
“Saya sudah paham itu, pertemuan kita waktu itu juga beratus-ratus tahun meski terasa sejenak. Lalu untuk apa anda mau batu merah delima itu, Ratu Sheba?”
“Aku menunggu batu ajaib itu beratus ribu tahun sejak moyangku belum menjelma menjadi ikan-ikan di perairan ini, Raja Sholomon. Sementara kau menghilangkannya dengan sebab perairan Hesha-ku ini. Kau terlalu mengada-ada!”, lalu Ratu Sheba melanjutkan, “Aku ingin memiliki kekuatan sepertimu, seperti yang tertera pada kitabku, Sholomon”.
“Ada kekuatan lain selain kekuatan ghaib, dan sungguh kekuatan saya bukan berasal dari batu merah delima yang sinarnya berekor-ekor itu, Ratu Sheba.” , Raja Sholomon menjelaskan.
“Coba buktikan, Raja Sholomon!”, mata cokelat itu menjadi magenta lebih pekat dari biasanya.
“Baiklah. Ada syarat, Ratu”
“Hmm.. Syarat?”
“Anda akan mengetahui kekuatan Tuhan saya. Baiklah, ketika saya mengatakan kedipkan mata, maka kedipkan mata, Ratu Sheba. Mengerti?”
“Mengerti, tentu saja”
Kedipkan mata!
“Oh………”, ia merasa telempar ke daratan. Ratu Sheba tersungkur, “Sungguh ini luar biasa”, matanya dikedip-kedipkan lagi, ia melihat dengan mata telanjangnya bahwa danau Hesha— yang di dalamnya menyimpan istana kaca—hanya sebatas kolam kecil, sementara sekelilingnya yang tak lain wilayah Syin telah menjadi Istana sangat megah dengan sinar merah yang begitu memukau.
“Sholomon, inikah kekuatanTuhanmu?”
Agung bukan main, Sholomon?
Sholomon…
Apa kau turut moksa. (*)
Jombang, 5 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar