Cerpen-Perempuan Kenangan





Perempuan Kenangan
  Oleh : Farihatun Nafiah
           
Deru pesawat. Ia menelisik gumpal awan. Menerabas begitu saja. Hilang atau entah. Pikiranku terlempar pada satu demi satu ingatan. Dadaku tertegun, namun mataku tetap terpejam.
Rambut kecokelatan yang terurai. Kita harus tetap tersenyum dan menjadi diri sendiri, katamu. Kelingking saling bertaut. Waktu itu, umur sembilan tahun. Aku tidak lagi merasa sendiri. Tak lama kemudian, kau juga aku, melesat di sebuah hamparan. Tawa lepas. Angin yang menerbangkan serpihan-serpihan dandelion. Kita berlari-lari hingga lelah. Lejar.
“Allita, ayo kembali!” Aku berteriak sementara keringat mulai melata di dahi.
“Pulanglah dulu!” Kau memunggungiku.
Aku tahu, kau sedang butuh sendiri. Lantas kau memunguti rerumput lalu merangkainya menjadi mahkota. Bagiku, kau satu-satunya gadis kecil yang dapat membilai lubang sebuah derita; perceraian dua orang yang tersayang. Sebenarnya, kita sama-sama terlampau pagi untuk menelan apa yang  terjadi.
“Besok aku berangkat. Aku akan tinggal bersama ayah. Naik pesawat.” Kau menoleh dengan senyum semarai.
Kucoba untuk mendekat. “Allita, mainlah ke rumahku terlebih dahulu, ambil bunga-bunga matahari di halaman. Kau boleh memetik semua, jika kau mau,” lalu mulutku terasa beku.
Kau menatapku tanpa berucap. Kulihat sepasang mata bening, ada titik kesedihan disana. Aku merasai akan ada yang sangat jauh.
***
Kau tetap sahabat terbaikku, katamu melalui surat pada pertengahan tahun 1998. Ketika itu aku sangat gembira, rasanya, dikenang itu sungguh menyenangkan. Terlebih itu dirimu, Allita. Aku menulis berlampir-lampir surat balasan, namun gagal kukirim. Bukan apa-apa. Aku memang tidak sanggup.
Masihkah ada bunga-bunga matahari di rumahmu, isi suratmu yang kedua, aku melingkari kalimat itu dengan tinta warna merah muda—warna baju kesukaanmu. Masih Allita, aku selalu merawatnya lantas kau kapan kemari. Penaku tiba-tiba terhenti, harapan itu terlalu berat. Aku membalas suratmu namun lagi-lagi tidak mengirimkannya.
Datanglah ke acara resepsiku minggu depan, semoga kau sempat. Surat ketiga, pada penghujung tahun 2000. Aku ingin berbisik, Allita, disini tiba-tiba musim gugur dan aku harus menikmatinya. Membayangkan apa yang harus kulakukan bilamana hadir di pestamu. Bersalaman? Memeluk? Menangis? Tertawa? Mengatakan hal-hal manis untuk pernikahan itu? Ah, betapa konyol. Kupandangi lagi suratmu itu sementara berbotol-botol bir telah tandas.
Aku tertekan hidup bersama Jef, aku terlalu payah untuk terus berpura-pura tidak terjadi apapun di hadapan ayah. Itu isi suratmu yang kesekian. Tanganku bergetar menuliskan secarik balasan, isinya semoga kau baik-baik disana dan hubungan rumah tanggamu segera harmonis kembali. Surat itu kulipat dengan pedih yang rapi. Kuberi tanda sehelai kering kelopak bunga matahari. Kumasukkan dalam amplop, warnanya kekuningan yang teramat lesi. Kutempeli perangko dengan gambar gadis yang rambutnya terurai. Lalu kutitipkan pada angin yang menimpali. Kau tahu, saat itu memang sedang musim angin, musim yang membawa suratmu terbang bersama kapuk-kapuk randu yang saling mengerumuni.
Allita, kau mengembalikan satu kenangan. Kau benar, menjadi ayah adalah sesuatu yang tak mudah dan seorang ayah memang tidak patut untuk kecewa. Ayahku—mungkin sejak kecil—pecinta bunga matahari. Ibu pernah menggerutui ayah sebab ulat-ulat bulu merambati tiap sudut rumah. Berhari-hari seperti ada gemuruh yang terus berkecamuk dalam diam.
“Kau tahu, serotonin di dalam kuaci mampu membuat hari minggu kita menjadi benar-benar relaks!” ayah tertawa kecil seraya meletakkan kulit biji kecil itu di atas lapik cawan.
Aku hanya memanggut-manggut menikmati kuaci, ayah memang pembaca yang baik. Sementara tawa ibu berderai begitu saja, dengan perlahan kami sama-sama mengisap teh aroma melati yang mulai hangat. Kepalaku masih menyimpan harum dedaun juga suasana cair di teras. Namun tak mungkin lagi kudapati hari semanis itu.
“Anakku! Istriku! Cepat lari cepat! Aaaaaaarghh!!”  Suara berat yang melemah. Luka menganga pada dada juga perutnya. Lenyah.
Aku membatu dengan bercak yang mungkin akan terus basah, seperti luber lantai kami. Merah kental. Orang-orang ramai. Sementara kulihat ibu benar-benar lari bersama seseorang yang telah membuat ayahku sekarat, lalu mati.
Aku tetap mematung di tepian jendela. Patung yang terus menanti kedatangan ibu dan merindukan wujud ayah. Sampai satu hari, ada noktah yang mengisi pandangan kosongku. Aku berkedip. Ada bocah perempuan yang mengintipku dari sela-sela pagar. Tangannya berusaha menggapai sesuatu.
“Petiklah! Tidak apa-apa,” kataku dengan membilas mata yang berembun.
“Terimakasih! Kutunggu kau di hamparan dandelion, besok!” Ah, Allita.
***
“Bas, aku menunggumu nanti malam, di tempat biasa, kamar nomor 56.” Sebuah pesan singkat dari seseorang. Kau dulu kerap menangis gara-gara bunga mataharimu direbut olehnya, Allita. Tentu kau ingat, dia Roy. Sejak sebelas tahun yang lalu—sebelum akhirnya tiada, dia yang menemaniku agar tidak lagi merasa sendiri. Aku bahagia menjadi diri sendiri, bersamanya.
“Bas…,” ah, seperti suara perempuan. Mataku benar-benar terpejam. Ingin kubuka. Tetapi berat sekali. Sungguh. (*)

Jombang, 5 September 2015